“Kebenaran : Otokritik atas kehidupan Bergereja”
(Gal.4:12-20)

         Pada tanggal 31 Oktober 1517 Martin Luther mempublikasikan 95 dalil yang berisi mengenai protes ataupun kritiknya terhadap pengajaran dan praktek keagamaan gereja Katolik yang dirasakan telah menyimpang dari kebenaran.  Terutama kritik terhadap ajaran Indulgensi yang menyatakan bahwa gereja di beri wewenang oleh Tuhan untuk mengurangi hukuman di dalam api penyucian.  Di tambah lagi pada masa Paus Leo X menjual surat Indulgensi untuk menopang pembangunan Basilika Santo Petrus.  Kritik juga ditujukan kepada gereja Katolik yang melakukan praktek jual beli jabatan rohaniwan.  Dalam proses reformasi tersebut beberapa reformator seperti Jan Hus di hukum mati dan John Wyclif di bakar.  Dari proses reformasi itulah selanjutnya  gereja Katolik terpecah, sebagian mengikuti para reformor dan menjadi gereja-gereja Protestan.  Maka 31 Oktober diperingati sebagai hari Reformasi.

         Meskipun resikonya sangat besar namun otokritik (mengkritisi diri) sangat diperlukan agar gereja kembali pada jalan kebenaran Tuhan.  Paulus juga melakukan kritik kepada jemaatnya di Galatia karena mereka terseret dalam arus pengajaran Yudaisme yang kembali menekankan kepada praktek hukum Taurat secara ketat (4:9-11).  Dengan memelihara hari-hari, bulan-bulan dan masa-masa tertentu, juga dengan menekankan pada sunat lahiriah (5:2).  Paulus menegaskan bahwa Kristus sebenarnya telah memerdekakan umatnya (5:1).  Sehingga tidak perlu umat jatuh dalam perhambaan lagi.  Paulus menasehati agar jemaat hidup dalam esensi hukum Taurat, yaitu kasih (5:14). Nampaknya karena kebenaran yang disampaikannya itu maka Paulus di musuhi oleh pihak-pihak jemaat yang berseberangan dengan pandangannya tersebut (4:16).  Padahal sebelumnya hubungan seluruh jemat Galatia dengan Paulus sangat harmonis (4:14).


         Bagaimanapun otokritik tetap harus dilakukan agar kehidupan jemaat tetap dalam kebenaran Kristus.  Jangan sampai karena sungkan dan takut terjadi konflik maka tidak berani mengkritisi  ajaran dan praktek gereja yang salah.  Namun seyogyanya otokritik disampaikan dengan cara yang bijaksana sehingga dapat diterima dengan baik esensinya oleh semua pihak tanpa menimbulkan konflik yang destruktif. Bagi yang di kritik perlu mempunyai sikap hati yang terbuka, rendah hati, dan pemikiran yang bening.  Apabila dirasa kritik tersebut dapat dipertanggungjawabkan seturut dengan firman Tuhan maka dengan rendah hati bersedia untuk berubah menjadi lebih baik.


Oleh
Pdm.Iwan Firman Widiyanto, M.Th.