“MEWARISI IMAN DAN PENGHARAPAN ABRAHAM”

(Kejadian 15:1-6 ; Roma 15:18-22)



Salam Dan Terimakasih

Saya mengucapkan terimakasih kepada Hamba Tuhan, Majelis dan Jemaat Gereja Pan Am karena telah memberi kesempatan untuk berkotbah di gereja Pan Am.  Saya tidak pernah berpikir akan diundang dan mengunjungi negara Korea selatan.  Apalagi untuk berkotbah di tempat yang luar biasa ini.  Saya melihat ini sebagai sebuah anugerah terindah dari Tuhan Yesus pada tahun ini.  Kesempatan ini tidak akan pernah terjadi tanpa pelayanan yang luarbiasa dari keluarga besar gereja Pan Am.
Saya juga menyampaikan salam dari keluarga besar gereja kami, GKMI Semarang Cabang Srumbung Gunung.  Kiranya Kasih Kristus mengikat tali persaudaraan kita sekarang dan selama-lamanya.  Pada kesempatan ini kami juga mengucapkan terimakasih atas dukungan doa dan dana keluarga besar gereja Pan Am atas pembangunan gereja GKMI Semarang cabang Srumbung Gunung.  Dengan dukungan gereja ini kami dapat menyelesaikan pembangunan gedung gereja yang sudah kami mulai sejak tahun 2010.  Untuk itu kami berdoa kiranya Tuhan Yesus sendiri yang membalas kebaikan dan pelayanan dari Bp/Ibu semuanya.









Pendahuluan

Saya bergumul dengan Tuhan ketika hendak merancang kotbah ini.  Saya bertanya dalam doa, “Tuhan saya harus berkotbah mengenai apa?”.  Lalu Saya mulai belajar dan mencari banyak informasi mengenai Korea Selatan.  Dari pembelajaran tersebut saya menjadi terkagum-kagum terhadap negara ini. Terhadap perkembangan ekonominya yang mengalami kemajuan yang sangat pesat.  Para ahli memprediksi bahwa Korea Selatan akan menjadi negara terkaya nomer 2 di dunia dan akan tercatat sebagai negara dengan pertumbuhan ekonomi tercepat di dunia. Prediksi para ahli ini mungkin akan menjadi kenyataan. Saya akan memberikan contoh yang  sederhana yang membuktikan hal tersebut.  Di desa kami saja, yang agak jauh dari kota, di lereng gunung Ungaran di Provinsi Jawa Tengah, anda bisa menemukan dengan sangat mudah barang-barang produksi dari Korea Selatan.  Handphone merk samsung dengan layar sentuh dan tekhnologi android sudah menjadi pemandangan sehari-hari di tempat kami. Bahkan istri,adik dan beberapa jemaat juga memakai Handphone dengan merk tersebut. Monitor LCD ukuran 50 inchi milik gereja kami bermerk LG, Laptop gereja dan  monitor PC kami merk Samsung, lemari es kami merk LG dan sebagainya.  Belum di tempat-tempata lain di Indonesia bahkan di negara-negara lain di dunia.  Nampaknya pemandangan itu membenarkan  data  bahwa Korea Selatan, sebagai negara dengan Expor terbesar kedelapan didunia sekaligus negara dengan impor terbesar didunia ini, telah mengalami kemajuan yang sangat pesat.
Melihat perkembangan tersebut sebenarnya saya sempat bergumul lebih mendalam lagi dengan Tuhan mengenai pokok Firman Tuhan  apa yang kiranya cocok hendak disampaikan kepada jemaat di Korea.  Karena nampaknya kehidupan di negara ini demikian sempurna. Namun benar apa kata pepatah dari negara saya, “Tidak Ada Gading Yang Tidak Retak”, yang berarti tidak ada segala sesuatu yang sempurna di dunia ini tanpa cacat sedikitpun.  Segala sesuatu di dunia ini pasti mempunyai kelemahan.  Saya mendapatkan data yang sungguh mencengangkan berkaitan dengan permasalahan di Korea Selatan.  Ternyata negara ini dinyatakan juga sebagai negara dengan tingkat bunuh diri tertinggi di dunia. Park dan Lester, peneliti sosial, menyatakan bahwa pada tahun 2011 sebanyak  28,4 orang dari setiap 100.000 orang di Korea Selatan melakukan bunuh diri.  Saya tidak tahu dengan data pada tahun ini apakah mengalami penurunan atau peningkatan. Namun persoalan ini nampaknya masih menjadi persoalan yang cukup pelik bagi pemerintahan Korea Selatan.  Masalahnya kasus bunuh diri ini telah menimpa berbagai kalangan.  Baik kalangan usia sekolah maupun kalangan tua dengan usia 60-74 tahun.  Bahkan kasus bunuh diri ini menimpa juga kalangan elit seperti tokoh politik nasional, pengusaha, olahragawan, artis, model dan lain sebagainya.
Mengapa hal ini bisa terjadi ? Data tahun 2010 menyatakan bahwa bunuh diri di korea Selatan 28,8 % disebabkan oleh karena putus asa secara psikologis, 22,6 % karena penderitaan fisik, 15,9% karena kesulitan ekonomi dan 11,4 % karena masalah keluarga.  Beberapa peneliti menerangkan bahwa permasalahan bunuh diri pada usia sekolah terjadi karena tekanan yang berkaitan dengan kemampuan akademik di sekolah.  Sedangkan bunuh diri pada orang tua karena mereka tidak mau menjadi beban ekonomi bagi anaknya. 
Saya bergumul lagi, bagaimana hal ini bisa terjadi ? Padahal sekarang ini sedang terjadi kegerakan rohani yang pesat dari gereja-gereja Korea Selatan.  Bahkan gereja dengan jemaat terbesar di dunia dapat di temukan di negeri ini.  Selanjutnya permasalahan ini menjadi lebih jelas manakala saya dikejutkan oleh data yang dilansir Pew Research yang memperlihatkan bahwa ternyata kekristenan di Korea Selatan baru mencapai 18,3 % dari populasi yang ada di Korea.  Katolik 10, 9 % dan Budha sebagai agama terbesar kedua sebanyak 22,8 %.  Dan yang paling mengejutkan saya adalah bahwa ternyata mayoritas populasi Korea Selatan sebanyak 46,5 % menganut paham Atheisme.  Kemudian sisa sekitar 1,7 % merupakan penganut agama dan kepercayaan yang lain.
Jelas dari data-data itu memperlihatkan bahwa sebagian besar masyarakat Korea Selatan dalam ancaman keputusasaan dan tekanan psikologis yang dahsyat.  Dan kalangan mayoritas masyarakat Atheis yang tidak percaya pada Tuhan menjadi kalangan yang paling rentan dengan tekanan psikologis dan keputusasaan.  Kalangan ini sungguh-sungguh membutuhkan Iman dan Pengharapan akan Tuhan secara khusus kepada Tuhan Yesus Kristus.   Dengan demikian akan mampu mengatasi tekanan batin dan selanjutnya mampu meminimalkan upaya untuk bunuh diri.

Belajar dari  Abraham

Situasi demikian mendorong kita belajar dari Iman dan pengharapannya Abraham. Ia merupakan teladan Iman dan Pengharapan yang luarbiasa.  Makanya Ia disebut sebagai Pahlawan Iman atau Bapa orang beriman.  Paulus mencatat demikian, “Sebab sekalipun tidak ada dasar untuk berharap, namun Abraham berharap juga dan percaya, bahwa ia akan menjadi Bapa banyak bangsa, menurut yang telah difirmankan: “Demikianlah nanti banyaknya keturunanmu” (Roma 4:18).  Dalam hal ini Abraham mampu melihat dengan mata iman.  Ia tidak menjadi mudah putus asa ketika melihat keadaan dirinya yang dapat dipastikan secara logika sudah tidak mungkin lagi mempunyai keturunan. Hal ini dinyatakan dengan jelas oleh Paulus, “Imannya tidak menjadi lemah, walaupun Ia mengetahui, bahwa tubuhnya sudah sangat lemah, karena usianya kira-kira sudah seratus tahun, dan bahwa rahim Sara telah tertutup (Roma 4:19).
Ada beberapa hal yang dapat kita renungkan untuk mengatasi kesulitan dan tekanan hidup yang dapat membawa kepada keputusasaan.  Pertama; Menumbuhkan Sikap menerima segala keadaan dengan penuh ucapan syukur dan sukacita.  Kedua; Mempunyai keyakinan iman yang kuat.  Dan yang ketiga; Mengandalkan Tuhan.

Abraham Menerima Keadaan yang terbatas

 Abraham sebenarnya sudah sangat siap menerima keadaannya yang terbatas  itu. Ia tidak mengeluh dan berputus asa.  Bahkan Ia tetap berharap pada rencana Tuhan yang lain dalam hidupnya.  Mungkin dia berpikir meski Tuhan tidak memberi keturunan, namun Tuhan pasti mempunyai rencana lain yang lebih indah bagiku. Hal Ini ditunjukan dengan perkataannya kepada Tuhan, “...Apakah yang akan Engkau berikan kepadaku, karena aku akan meninggal dengan tidak mempunyai anak, dan yang akan mewarisi  rumahku ialah Eliezer,  Orang Damsyik itu” (Kej.15:2). Disinilah letak sikap menerima Abraham terhadap keadaannya.  Ia menyadari kemungkinan hidupnya akan meninggal tanpa mempunyai keturunan. Dengan demikian Ia tidak menunjukkan keputusasaannya.  Bahkan siap membuat perencanaan yang lain.  Ia berencana untuk mewariskan hartanya nanti pada pembantunya ,yaitu Eliezer.
Padahal tidak mempunyai keturunan bukanlah masalah sepele dalam budaya orang Asia.  Baik dalam budaya Israel kuno maupun dalam budaya orang Asia yang lain , tidak terkecuali juga dengan budaya Korea Selatan saat ini.  Keturunan dianggap sebagai sesuatu yang sangat penting.  Yaitu sebagai tanda berkat Tuhan dan yang akan menjaga dan meneruskan garis keturunannya agar tidak terputus.  Dengan demikian dapat melanjutkan  segala pencapaian hidupnya, yaitu dengan mewariskan harta bendanya atau usaha yang telah dirintis sejak lama kepada keturunannnya itu. Orang yang tidak mempunyai keturunan biasanya akan dianggap sebelah mata oleh komunitasnya.  Mungkin mereka akan kurang dihormati dan menjadi bahan olok-olokkan atau menjadi bahan pembicaraan negatif yang lain.  Dalam keadaan itu sebenarnya Abraham, sebagai manusia biasa dapat saja memberontak pada Tuhan, menjadi lemah dan putus asa.  Namun semuanya itu tidak dilakukannya.  Ia tetap berharap dan bergantung pada perencanaan Tuhan atas hidupnya.  Dia menerima apa yang menjadi perencanaan Tuhan dalam hidupnya.  Meskipun itu mungkin tidak sesuai dengan harapannya.
Sikap menerima keadaan dan tetap berharap atau bergantung pada Tuhan adalah sikap yang penting untuk kita teladani dan hayati dalam kehidupan kita. Bahkan dalam keadaan yang terburuk sekalipun yang diijinkan Tuhan terjadi dalam hidup, kita harus tetap menerimanya dengan ucapan syukur. Selain Abraham tokoh Ayub juga merupakan orang beriman yang telah memberikan teladan hidup semacam itu.  Meskipun pencobaan datang dalam hidupnya secara bertubi-tubi, anaknya mati semua, harta bendanya habis namun Ayub tidak memberontak atau menjauh dari Tuhan.  Ia menerima perencanaan Tuhan dalam hidupnya. Dalam kondisi yang penuh dengan tekanan batin yang menyakitkan itu ia berkata, “Dengan telanjang aku keluar dari kandungan ibuku, dengan telanjang juga aku akan kembali kedalamnya.  Tuhan yang memberi, Tuhan yang mengambil, terpujilah nama Tuhan !”(Ayub 1:21).  Dan selanjutnya Alkitab mencatat, “Dalam kesemuanya itu Ayub tidak berbuat dosa dan tidak menuduh Allah berbuat yang kurang patut (Ayub 1:22).  Dengan bersikap semacam itu, Ayub tetap tegar, ia tetap bisa memuji Tuhan dan menyatakan ucapan syukurnya. 
Dalam hal ini, memuji Tuhan dan tetap mengucap syukur kepada Tuhan, meski tekanan hidup melanda merupakan sebuah upaya untuk menerima keadaan terburuk yang diijinkan Tuhan terjadi pada kita.  Maka patut juga kita mendengarkan seruan Paulus, “Bersukacitalah senantiasa didalam Tuhan! sekali lagi kukatakan bersukacitalah !”(Filipi:4:4).  Kemudian dilanjutkan, “Janganlah hendaknya kamu kuatir akan apapun juga, tetapi nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu pada Allah dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur” (Filipi 4:6).  Dan apabila kita bisa melakukan yang demikian itu maka, “Damai sejahtera Allah, yang melampaui segala akal, akan memelihara hati dan pikiranmu dalam Kristus Yesus” (Filipi 4:7).

Abraham Penuh Dengan Keyakinan iman

Kunci sukses Abraham dapat menang mengatasi kelemahan, keterbatasan dan tekanan hidupnya adalah karena Abraham itu taat mendengar sabda Tuhan dan mengimani dengan setia perwujudan janji Tuhan tersebut.  Tuhan berfirman kepada Abraham, “Orang ini (Eliezer) tidak akan menjadi ahli warismu, melainkan anak kandungmu, dialah yang akan menjadi ahli warismu”. Lalu Tuhan membawa Abram keluar serta berfirman, “Coba lihat ke langit, hitunglah bintang-bintang, jika Engkau dapat menghitungnya”.  Maka FirmanNya kepadanya; “Demikianlah banyaknya nanti keturunanmu.” (Kejadian 15:4-5).  Dan Alkitab mencatat dengan jelas respon Abraham, “Lalu percayalah Abram kepada Tuhan, maka Tuhan memperhitungkan hal itu kepadanya sebagai kebenaran (Kejadian 15:6).
Padahal pada waktu itu Abraham belum mempunyai anak dan Ia sudah sangat tua dan kandungan Istrinya sudah tertutup.  Tapi Abraham sangat yakin dengan janji Tuhan itu.  Selanjutnya keyakinannya itu mampu mengatasi situasi yang sebenarnya.  Sebuah situasi ketidakmungkinan mempunyai keturunan di saat usianya sudah sangat tua dan kandungan Sara Istrinya sudah tertutup.  Alkitab mencatat, “Tetapi terhadap janji Allah ia tiak bimbang karena ketidakpercayaan, malah Ia diperkuat dalam imannya dan ia memuliakan Allah. Dengan penuh keyakinan, bahwa Allah berkuasa untuk melaksanakan apa yang telah Ia janjikan.  Karena itu hal ini diperhitungkan kepadanya sebagai kebenaran”(Roma 4:20-22).
Lalu bagaimana caranya agar keyakinan iman kita kepada Tuhan bisa kuat seperti keyakinan imannya Abraham?  Paulus menyatakan bahwa “Iman timbul dari pendengaran, dan pendengaran oleh Firman Kristus”(Roma 10:17). Itu berarti keyakinan iman kita akan dapat kuat apabila kita setia mendengar dan memahami Firman Tuhan.  Kita perlu belajar dengan rajin dan penuh disiplin akan firman itu, Menghayati dan melakukannya dalam kehidupan sehari-hari.  Entah itu dalam saat teduh pribadi maupun melalui mesbah keluarga.  Juga melalui ibadah bersama dengan jemaat yang lain.  Keyakinan Iman Abraham demikian kuat karena Ia juga setia mendengar sabda Tuhan.  Abraham peka terhadap suara dan kehendak Tuhan.
Orang menjadi putus asa karena Ia tidak mempunyai keyakinan iman yang kuat.  Kasus seperti ini tidak saja terjadi pada orang yang tidak percaya kepada Tuhan, namun juga dapat dialami oleh orang Kristen yang fokus perhatiannya hanya pada permasalahan hidup,   sehingga Ia lupa berfokus pada Tuhan yang Maha Kuasa.  Orang tidak berfokus pada Tuhan karena Ia tidak bisa merasakan Tuhan yang hidup didalam kehidupannya. Masalah tersebut dapat terjadi karena Ia hanya menempatkan Tuhan sebagai pengetahuan akal budi.  Tuhan hanya menjadi sebuah konsep yang memuaskan akal saja.  Sehingga ia tidak dapat merasakan sendiri pengalaman rohani Tuhan yang hidup.
Kita harus mempunyai pengalaman iman secara pribadi, pengalaman yang mampu merasakan Tuhan yang benar-benar hidup.  Kita harus mempunyai iman yang kuat.   Iman sendiri dapat dipahami sebagai kemampuan melihat tangan Allah yang telah berkarya menolong dalam menyelesaikan segala permasalahan kita, meskipun pada kenyataannya masalah kita saat ini belum selesai.  Sama seperti yang diajarkan Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Ibrani yang  mengatakan, “Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat” (Ibrani 11:1). Itu berarti penglihatan rohani kita perlu dipertajam.  Harus mampu melihat penyelesaian telah terjadi oleh Tuhan, meski pada kenyataannya masalah masih terjadi.  Iman inilah yang akan memberi kita kekuatan baru untuk menghadapi segala situasi yang berat dan tidak menguntungkan.  Iman inilah yang akan mengubah sesuatu yang mustahil  menjadi sesuatu yang dapat menjadi kenyataan.

Mengandalkan Tuhan

                   Problem utama orang menjadi putus asa adalah karena mereka biasanya cenderung mengandalkan kekuatannya sendiri.  Padahal kita menyadari bahwa kekuatan manusia dengan segala akal budinya sangat terbatas. Sehingga orang menjadi sangat tertekan ketika pikiran dan kekuatannya itu gagal dalam menyelesaikan segala permasalahan dengan berbagai tekanannya yang berat.
 Firman Tuhan melalui Yeremia berbicara sangat tegas mengenai orang yang mengandalkan kekuatannya sendiri; “Terkutuklah orang yang mengandalkan manusia, yang mengandalkan kekuatannya sendiri, dan yang hatinya menjauh dari pada Tuhan ! Ia akan seperti semak bulus di padang belantara, Ia tidak akan mengalami datangnya keadaan baik; Ia akan tinggal di tanah angus di padang gurun, di negeri padang asin yang tidak berpenduduk (Yeremia 17:5-6).  Jadi orang yang jauh dari Tuhan dan hidup dengan mengandalkan dirinya sendiri akan mengalami kesepian batin yang mendalam, digambarkan seperti tinggal di padang gurun yang tidak berpenduduk.  Ia akan mengalami kegersangan hidup, tidak ada damai sejahtera.  Dalam hatinya hanya ada amarah, kekecewaan, kepahitan dan ketidakpuasan hidup.  Rohaninya kering dan hampa, seperti kehilangan tujuan, tidak tahu arah yang jelas.  Orang yang semacam itu tentu sudah masuk kedalam penderitaan dunia yang hebat.  Keadaan semacam tidak memandang status sosial kaya miskin.  Meskipun kaya tapi tidak mengandalkan Tuhan akan mengalami situasi semacam ini.  Maka tidak mengherankan apabila pelaku bunuh diri juga dilakukan oleh orang-orang yang terkenal dan kaya.
Sebaliknya ada berkat yang penuh bagi mereka yang mengandalkan Tuhan. “Diberkatilah orang yang mengandalkan Tuhan, yang menaruh harapannya kepada Tuhan !  Ia akan seperti  pohon yang ditanam di tepi air, yang merambatkan akar-akarnya ke tepi batang air, dan yang tidak mengalami datangnya panas terik, yang daunnya tetap hijau, yang tidak kuatir dalam tahun kering, dan yang tidak berhenti menghasilkan buah (Yeremia 17:7-8).  Orang yang mengandalkan Tuhan akan mendapatkan kesegaran dan kesejukan dalam hidupnya.  Digambarkan seperti pohon yang ditanam didekat air. Itu berarti damai sejahtera melingkupinya secara penuh.  Ada kepuasan hidup dan apa yang dibutuhkan dicukupkan oleh Tuhan. Dan berkat yang diterima itu tidak hanya berguna bagi dirinya sendiri namun juga akan dapat dirasakan oleh orang disekitarnya.


Mengabarkan Iman Dan Pengharapan                                                                                                                                                                                                                                                                                       Iman dan pengharapan kepada Tuhan Yesus tidak boleh hanya menjadi berkat bagi kita saja namun harus juga diwartakan kepada sesama kita.  46,5 % lebih penduduk negeri ini dapat diumpamakan “seperti semak bulus di padang belantara,... yang tinggal di tanah angus di padang gurun, di negeri padang asin yang tidak berpenduduk”.  Mereka rentan terhadap keputusasaan dan tidak punya arah hidup rohani yang jelas.  Meski secara jasmani perkembangan ekonomi sedemikian pesatnya.  Mereka membutuhkan kasih kita hingga mereka mengenal iman dan pengharapan di dalam Tuhan Yesus.  Dan mengalami kepuasan hidup yang penuh secara jasmani dan Rohani.  Gereja perlu bertindak dengan kreatif dan tepat sasaran.  Untuk menjangkau mereka yang rentan terhadap masalah keputusasaan oleh karena tekanan kehidupan yang keras. Saya dan saudara mempunyai tugas yang sama dalam hal ini, yaitu mengabarkan Iman dan pengharapan didalam Kristus.  Mari kita saling mendoakan dan saling mendukung hingga kerajaan Allah dapat dinyatakan di bumi ini. Amen.  



Oleh
                       Pdm.Iwan Firman Widiyanto, M.Th.

No comments:

Post a Comment