(Yakobus 1:19-20)
Seorang Bos
tiba-tiba memecat karyawan yang sudah berpuluh-puluh tahun mengabdi di
perusahaannya. Karyawan tersebut dipecat
karena si Bos mendengar isu yang telah beredar di kalangan internal yang menyatakan
bahwa karyawan tersebut mengatakan bahwa si Bos suka marah-marah. Beberapa bulan kemudian, dalam sebuah
perjalanan dinas, seorang diri, si Bos mengalami pecah ban di tempat yang
sangat sepi. Tiba-tiba saja ada seorang
dari kejauhan yang mendekat hendak menolong si Bos. Ternyata orang tersebut adalah si Karyawan
yang pernah di pecatnya dulu. Keduanya
menjadi kaget. Namun si Karyawan dengan
tulus menawarkan bantuan untuk mengganti ban mobil si Bos. Si Bos pun terpaksa mengijinkannya karena
tidak ada orang lain lagi ditempat itu.
Lalu si Bos pun bertanya kepada mantan karyawannya itu, “Mengapa kamu
menyebarkan isu bahwa aku suka marah ?”.
Lalu si Karyawan menjawab, “ Maaf pak, saya tidak menyebarkan isu
tersebut, namun informasi yang Bapak terima kurang lengkap. Pada waktu itu saya menegur karyawan Bapak
yang kepergok mencuri bensin mobil.
Lalu saya bilang kepada dia bahwa Bapak suka marah kepada orang yang
tidak jujur. Namun karyawan itu langsung
pergi setelah mendengar teguran dari saya".
Si Bos terperanjat, Ia lalu
meminta maaf karena tidak menanyakan permasalahan sebenarnya kepada si Karyawan . Lalu si Bos mengangkat kembali
karyawannya itu, bahkan diberikan di posisi yang lebih baik.
Amarah memang
tidak memandang status sosial. Orang
dengan pendidikan tinggi dan jabatan yang prestisiuspun bisa dihinggapi oleh
amarah. Lalu berdasarkan perasaan
emosionalnya orang membuat suatu keputusan. Dan biasanya keputusan yang dilakukan dengan
disertai amarah yang meluap-luap akan menjadi keputusan yang salah. Amsal dan pemazmur menyebut orang yang tidak bisa mengendalikan amarahnya sebagai orang bodoh dan bebal (Amsal 29:11; Peng.7:9). Sedangkan rasul Yakobus mengatakan bahwa, “Amarah
manusia tidak mengerjakan kebenaran di hadapan Allah”. Ia mengajarkan kita untuk mengendalikan diri
kita dari sikap marah-marah. Selanjutnya
justru mengedepankan sikap yang rela mendengar.
Dalam arti mau memahami suatu akar permasalahan. Rela untuk mencari konfirmasi atau melakukan
cek dan ricek terlebih dahulu terhadap suatu perkara. Baru setelah mendapatkan gambaran yang
mendalam berkaitan dengan suatu perkara kemudian membuat keputusan yang tepat.
Memang tidak
mudah mendengar dan mengendalikan amarah itu.
Butuh kesabaran untuk memahami segala sesuatu dengan mendalam. Namun sikap semacam itu justru akan
menghindarkan kita dari bencana yang lebih besar. Mampu menyelamatkan kita dan orang lain dari
keputusan-keputusan gegabah. Mari
belajar mendengar, memahami segala sesuatu dengan baik sebelum meloakukan
tindakan apapun.
Oleh Pdt. Iwan
Firman Widiyanto, M.Th.
No comments:
Post a Comment